Ini
hari ke 3 di Minggu
ke 2 di bulan September. Aura pagi masih
enggan menampakkan cerianya, tapi pagi ini air
memaksakan untuk mengguyur tubuh Ayla untuk beraktifitas pagi. Suara adzan
membelalakkan matanya untuk bergegas mempercepat gerakan dan
pergi ke mushola. Selepas sholat
subuh Ayla seperti biasa menyapa setiap
sudut rumahnya untuk dijaga
supaya tetap bersih. Bumbu dapur yang
siap diolahpun sudah siap
menanti.
“ Kenapa semua jadi
ribet begini ya,” gumam Ayla dalam hati
“ Kenapa Ay?”
“ Ndak biasanya bu, Ayla terburu-buru seperti ini”
Iya memang
pagi ini Ayla sudah
memulai aktivitas Praktek
Pengabdian Lapangan bahasa kerennya PPL.
Maklumlah sebagai mahasiswa
semester 7 Fakultas Ilmu
Pendidikan Ayla wajib
mengikuti kegiatan ini. Belajar menjadi
guru mungkin itu lebih
tepat lagi. Karena mahasiswa nantinya
akan dihadapkan langsung pada kondisi
mengajar yang sebenarnya, bukan hanya teori.
Hari
– hari Ayla yang
biasanya pekerja kantoran,
sekarang harus banting
setir menjadi seorang pengajar.
Semua terasa berubah, jam di dindingpun
berjalan begitu cepat bagi
Ayla. dikerjakan lebih cepat 1
jam. Biasanya masuk jam kantor jam 8,
sekarang jam 6.30 harus sudah
start berangkat.
Led BB menyala merah “ Nanti jam 6.30 tepat saya tunggu di pertigaan Jalur
Lintas Barat J Azriel”
“Baik Mas Azril, saya
konfirmasi yang lain juga trims”
Begitu kira-kira
sms pemberitahuan dari
salah seorang anggota
PPL yang lain. Jam di dinding sudah menunjukkan
pukul 6.05. Lima belas menit
persiapan dan sepuluh menit
persiapan rasanya mustahil buat
Ayla. Sarapan di meja belum
sepenuhnya tertata rapi, Ibu Ayla
yang notabene juga seorang pengajar pastinya memiliki waktu yang
singkat dipagi hari, Karena
semua aktivitas pagi lebih
banyak di handle
Ayla. Mungkin sama dengan
yang lain, semuanya hanya
butuh adaptasi. Secepat kilat Ayla
mengambil langkah seribu, di
jarum jam 6.25 sembari mengirim
pesan singkat ke teman-teman yang lainnya.
“Huft… Ayla ndak telat kan”
“Hmmm Ay, rasanya
sudah mau kutinggal saja” (Vita salah
saorang teman dari
satu fakultas Ayla memasang wajah
muram)
“Iya
iya maafin Ayla, kan
aku masih adaptasi dengan jarum jam”
“Ayla kalau pagi mah jadi
inem dulu Vit” timpal Dini
yang memang sudah sudah
tau keseharian Ayla
“Sudah ay, bercanda kok lagi pula Mas Azriel juga belum nampak”
“Assalamu’alaikum………..”
“Panjang umur
Pak Guru ini, baru
saja diomongkan ee tiba-tiba muncul”
“Ya sudah,
semua sudah lengkap kan?” pungkas Azriel yang tak jarang dipanggil Pak
Guru oleh teman-temannya.
“Loh, kita kok
cuma ber tujuh, lah yang empat
kemana Pak?”
“Sudah Ay, mereka nanti
menyusul lewat jalan utara”
“Ya
Sudah let’s go lah”
Mereka semua mengikuti jejak
roda Mas Azriel, karena baru
pertama kali datang ke
Sekolah ini. Kebetulan pula
Maz Azriel salah satu pengajar di
sekolah itu, jadi beliau rela
menjemput anggotanya untuk
bisa sampai ke lokasi. Kedengarannya
lokasinya tak begitu jauh dari tempat
kita berkumpul tadi. Ayla
yang pribumi saja
belum pernah datang ke daerah itu, meski sering
terkenal dengan produk Tape nya, Eits jangan salah sangka dulu
ini cuma
perkara istilah “Tape” yang dimaksud bukan elektronik
lo, melainkan sejenis makanan yang
terbuat dari singkong
yang di beri ragi lalu
disimpan beberapa hari. Sudah jangan tanya lagi apa itu
ragi, nanti dibrowsing saja ya.. hehe.
Dalam batin
Ayla berdecak kagum, ternyata
di kota Kepanjen masih
ada ya daerah yang masih
asri begini. Terlalu banyak
berkutat dengan tumpukkan perkerjaan kantor hingga lupa rasanya jika seseorang itu
butuh udara sejuk seperti ini. Seperti berada di
pegunungan, menuruni jurang tajam
berkelok, tepat di bawah jembatan jalur lintas barat. Kanan
kirinya tersandar pepohonan yang tertanam acak, bukan tanpa
pemilik tapi semua terlihat alami.
“Nyamannya, Subhanallah…”
Meski
jalannya sudah berupa aspal, namun
banyak kerusakan di
badan jalan sehingga harus
hati-hati ketika melewatinya. Semakin ke
bawah, lintas arus sungai semakin jelas
menambah nyaman dalam perjalanan meski
harus pasang mata supaya tidak terperosok. Mas Azriel sudah
terbiasa dengan jalan berkelok
ini, dengan santainya naik turun badan jalan seolah jalan lurus saja. Ayla , Vita, Dini
dan yang lain mengekor pelan, tak jarang operan persneleng harus di tekan mendadak ketika jalanan naik, sehingga
pengendara yang lain dibelakang
harus siap pasang rem. Tiga
belokan sudah cukup bagi kami
mengingat suasana ini.
“Pak Guru…. Masih jauh
kah? Masih ada jurang lagi
tak?” Suara Vita cetar, karena
dia yang sedikit kalang
kabut mengendalikan laju motor mio yang notabene
sering selip.
“Sudah dekat kok, tenang saja”
“Ay…. Kamu diam saja, nggak takut”
“Apa Vit? Aku ndak
dengar? Sudah nanti saja
bicaranya”
Kebetulan
semua membawa motor sendiri-sendiri jadi tidak
ada yang berboncengan. Menikmati sendiri
rupanya sudah terbiasa bagi Ayla, terlalu
banyak hal yang membuat dia
tetap bertahan tapi hanya
ada satu alasan kenapa dia bertahan untuk selalu tersenyum.
Perjalanannya hanya
butuh waktu 10 menit
dari lokasi bertemu tadi, tapi bagi Ayla menikmati susasananya
berasa sehari, terasa nyaman, sejuk, dan damai.Kepenatan ruang
kerja dan suasana kota terasa diawang. Menjadikan satu romansa baru
di ujung jalan bukit ini, tak terasa sudah sampai di lokasi. Senyum Ayla
selalu mengembang seperti biasa, cuma pagi ini
semakin cerah dengan aura wajah
yang lebih berseri.
RA, MI, MTs. Darrul Falah begitu
kita masuk sudah disambut
dengan banner penerimaan siswa
baru Darrul Falah Th. 2012/2013. Seperti namanya tiga
tingkatan berada dalam satu sekolah, semua beranggapan areanya lahannya
luas dengan beribu-ribu siswa
disana. Tidak nampak berbeda
dengan suasanya sekolah lainnya
yang gaduh di
pagi hari. Para siswa masih
berlalu lalang di lokasi
halaman sekolah yang sebesar
lapangan bola volley. Tak
terlalu besar seperti bayangan orang – orang , sekolah yang berbasis
madrasah ini memiliki bangunan
bertingkat dua. Tingkat pertama untuk siswa
Madrasah Ibtidaiyah dan tingkat
kedua untuk ruang
Madrasah Tsanawiyah yang
nantinya Ayla dan teman – temannya tempati. Tempat parkir
berjajar rapi di halaman sekolah, tepat di depannya
ruang guru MI, sebagian
orang bercengkrama di sisi
jendela, banyak mata memandang
dari kejauhan tak terkecuali
ibu-ibu penjual jajanan. Seperti
orang asing yang masuk di
lingkungan asing pula. Jaket almamater ini
memang khas dengan mahasiswa, corak coklat mudanya menambah penawaran baru dalam pndangan. Di depan halaman yang
terbentang sawah menyisir lukisan matahari yang
menambah cerah suasana Madrasah. Dipojok kanan dan kiri terdapat tangga yang masih
setengah jadi, dengan hiasan
bata alami berjajar di setiap
tingkatan tangga.
Di pojok tangga
teman-teman lain sudah berkumpul, mata Ayla
masih bersemangat menyeruak sekeliling halaman. Pandangannya tak terlepas dari
rasa nyaman. Sudah lengkap
semua sebelas orang
(Mas Azriel, Ayla, Vita , Dini, Bu
Budi, Bu Sulis, Utari, Agung, Agus, dan Ani), telihat
saling berjabat tangan
mengenal satu sama lain, karena
sebagian orang baru bertemu hari ini.
“Selamat datang
di MTs. Darul Falah”
Selayaknya guide Mas Azriel mempersilakan menaiki anak tangga.
“Ow,
jadi di atas sini MTs.,
trus di bawah tadi
ada tulisan RA?”
“Kebetulan lokasi RA sudah
dipindahkan di gedung sebelah
mbak, jadi disini tinggal
MI dan MTs.”
“Bu Budi semangat
banget naik tangganya’
“Sudah Vit, No
comment. Ini belajar pake
rok soalnya keburu nyrimpet.
Haha”
Obrolan
singkat ke lantai
dua itu menambah
keakraban mereka yang baru
saling kenal. Lantai dua
sudah beralas keramik putih bersih. Tepat di pojok kiri atas mirip
banget ya sama identitas di
kertas ujian suara halus
menyapa segerombolan mahasiswa
muda, Seorang berparas manis
berjilbab biru setengah abu-abu
khas Madrasah menyambut mereka dengan ramah. Dijabatnya satu persatu,
seraya mempersilakan duduk. Sofa coklat
emas di pojok kanan depan ruangan dengan ornament meja
guru yang ditata berjajar
tiga baris. Ruangannya tak
begitu besar, tetapi cukup
multifungsi untuk semua pengajar disana. Di
sudut lemari kaca
ada beberapa hasil karya murid
berupa lukisan kendi – kendi dari tanah
liat, menambah corak manis ruangan yang selebihnya ada
beberapa buku yang
tertumpuk tertata sekedarnya.
“Ay, kok bengong
sih?”
“Hah…. (melongo), kenapa Bu Budi…
Iya tadi siapa namanya ya?”
“Hmm, Lah piye to cah iki ngelamun
wae”
“Yak an ndak sengaja bu”
Memang
dari raut muka Ayla, seolah menyimpan sebuah pertanyaan besar? Dipandangnya
sekeliling setiap sudutnya seolah tak lepas dari pandangannya. Sesi perkenalan
yang sedikit di lewatkan Ayla, Bu Saima nama guru berparas manis tadi. Beliau
memberikan sedikit wejangan sebagai ceremonial penerimaan mereka.
Sedikit tersibak di bayangan Ayla,
rasa nyaman yang kembali muncul dan rasanya seolah dejavu melihat setiap riuh
angin yang berhembus ke dalam ruangan
itu.
“Ah mungkin hanya bayangan saja”
Ayla membatin keras dalam hati.
Apa?
Kenapa? Dimana…. Seolah sudah tak asing lagi, tapi Ayla menepis semua pemikirannya,
me refresh ulang dan kembali di dunia nyata. Apa yang berpendar di pikiran Ayla
sedikit mengganggu.
Kamuflase bayangan semu yang merong-rong
otak Ayla dinetralisir dengan segelas aqua yang sengaja disiapkan untuk mengguyur
dahaga. Tak terasa pertemuan hari itu menjadikan planning panjang selama dua bulan
kedepan, banyak hal yang sudah dibicarakan untuk sebuah program andalan. “Be a good teacher”. Semua berpamitan
tanda perhelatan symbol selamat datang telah usai. Setelah keluar dari sekolah
semua berakhir dengan obrolan santai di kedai
kecil “Wang Sen” sembari menyantap sepiring nasi goreng “Pattaya” , dan nasi goreng kerang terfavorit.
to be continue.................