Selasa, 11 Desember 2012

Simulasi Pernikahan


Setelah Kau Menikahiku 8
(Pernikahan Simulasi Part 8)

Pernikahan Simulasi Bagian 8

Aku hanya mematung di luar jendela menyaksikan kemesraan mereka berdua.Saat itu juga mendung di langit yang tadinya terbentang kokoh di angkasa akhirnya runtuh juga. Membasahi bumi, membasahi hati dan menyamarkan air mataku yang tanpa sadar setetes dua tetes menitik di pipi demi kekecewaanku saat ini. Kekecewaa
n atas pengkhianatan yang terjadi di depan mataku sendiri.

Jelas sudah sekarang semuanya. Jelas sudah jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku akhir-akhir ini. Seperti keyakinanku dulu semua lelaki memang brengsek. Tak terkecuali Idan yang dulu aku anggap beda ternyata sama saja dengan yang lain.

Aku pun berlari menembus hujan yang begitu deras menuju tempatku parkir mobil tadi. Aku tidak menghiraukan ketika seorang petugas cleaning service mengejarku untuk menawariku payung. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu sekarang!

Begitu sampai di mobil, cepat-cepat kunyalakan dan kusetir dengan terburu-buru. Di jalanan kukebut mobilku biar segera sampai di rumah. Aku tidak mempedulikan teriakan-teriakan pengendara-pengendara lain yang kusalip dengan ugal-ugalan.

Sesampai di rumah kubuka pintu, kubanting tanpa menutupnya kembali. Saat sampai ruang tengah dan kulihat foto pernikahan kami berdua, aku ambil dan kubanting sampai hancur berkeping-keping. Setelah itu aku ke kamar dan membenamkan wajahku ke bantal. Aku menangis sejadi-jadinya.Menangisi kebodohan, kenaifan dan ketololanku selama ini.

***

Aku menangis sampai ketiduran. Dari luar samar kudengar suara mobil. Idan sudah pulang. Bersiaplah untuk prang besar Dan!

Aku keluar dari kamar dan menunggunya di ruang tengah tempat biasa kami nonton tivi. Aku duduk di sofa seolah aku sudah menunggunya berjam-jam disana.

Saat Idan sampai di ruang tengah dia terkejut ketika menemukan foto pernikahan kami yang berukuran satu kali satu setengah meter itu hancur pecah berserakan di lantai.

“Apa-apaan ini? Ada apa Pit? Kenapa foto ini bisa hancur seperti ini?” tanyanya heran.

“Aku yang menghancurkannya! Kenapa? Kamu gak suka? Ini seperti halnya kamu menghancurkan pernikahan kita Dan!” jawabku menantang.

Inilah kali pertamaku berbicara lagi dengannya setelah sekian lama kami saling mendiamkan. Entah aku dapat energy dari mana hingga aku kembali berminat untuk bertengkar hebat dengannya.

“Apa maksutmu aku menghancurkan pernikahan kita? Bukankah kamu yang mulai semua ini? Kamu yang mulai mendiamkanku sehingga hubungan kita renggang selama ini?” jawab Idan tidak terima dengan tuduhanku.

“Kamu pikir aku mendiamkanmu itu tidak ada penyebabnya? Penyebabnya adalah kamu sendiri Dan! Kamu egois! Mikirin diri sendiri!”

“Aku egois? Sisi mana dari diriku yang egois? Apa kamu pikir kamu sendiri tidak egois? Aku dah banyak mengalah buatmu Pit!”

“Memang biasanya orang egois tidak menyadari keegoisannya sendiri Dan! Termasuk kamu! Kamu yang meninggalkanku di saat aku butuh dirimu! Hingga pada akhirnya aku mengalami keguguran karena stress itu juga gara-gara kamu!” aku sudah mulai kalap.

“Dan satu hal lagi! jika dirimu juga kecewa padaku dan menginginkan berakhirnya pernikahan kita kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin?”

“Apa maksut kamu Pit? Jangan bicara sembarangan!” Idan mulai bingung.

“Kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi dariku jika kamu punya wanita idaman lain? Jangan kira aku tidak tahu Dan! Aku sudah tahu semuanya!”

“Aku…” Idan seperti tercekat dan tak bisa berkata apa-apa lagi.

“Bisa kujelaskan. Begini..”

“Udahlah Dan semua sudah jelas. Aku tidak butuh penjelasan lagi darimu. Semuanya dusta dan aku sudah muak dengan semuanya.”

Aku meninggalkannyasendirian di ruangan itu. Aku ke kamar dan membereskan barang-barangku. Aku mau pulang ke rumah ibu.

“Mau kemana kamu?” Tanya Idan saat dia masuk kamar.

“Apa pedulimu aku mau kemana? Aku mau pulang ke rumah ibu. Puas?”

“Kamu tidak perlu pergi dari rumah seperti ini. Biar aku saja yang pergi.” Kata-kata Idan lebih melunak kali ini. Aku tidak menghiraukan kata-kata terakhirnya saat kemudian dia telah keluar dan meninggalkan rumah dengan mobilnya.

Aku tidak peduli dia mau kemana. Paling juga ke hotel dekat kantornya seperti dulu.

Meskipun Idan sudah pergi dari rumah, aku juga harus pergi. Aku tetap ingin pulang ke rumah ibu. Tidak hanya dua atau tiga hari. Mungkin dalam waktu yang agak lama. Atau malah selamanya.

***

Ternyata Idan sering telpon ke rumah Ibu menanyakan kabarku. Dia sudah balik lagi ke rumah kami rupanya. Pasti dia kehabisan baju bersih lagi seperti dulu.

Aku selalu menolak jika ibu bilang kalau Idan ingin berbicara denganku di telpon. Aku masih sangat marah kepadanya.

Di rumah ibu sangat prihatin dengan keadaan hubungan kami. Berkali-kali Ibu menyarankanku agar berbaikan dengan Idan. Namun selalu aku tampik dengan alasan ini itu.

Sampai pada suatu ketika ibu bercerita tentang pembicaraannya dengan Idan saat aku masih di rumah sakit. Sebenarnya aku heran kenapa ibu lebih membela Idan daripada aku yang anaknya sendiri.

“Ibu tidak habis pikir dengan perlakuanmu terhadap Idan Pit. Idan itu pria yang sangat baik tapi apa yang kau lakukan untuk membalas kebaikannya? Kamu malah selalu berburuk sangka kepadanya?”

“Maksut Ibu? Bukankah sudah Upit katakan alasan kenapa kami bertengkar?”

“Cuma karena itu? Darimana kamu yakin kalau Idan selingkuh dengan wanita lain hanya dengan melihat Idan makan bareng dengan wanita itu?” Aku terdiam dengan pertanyaan ibu itu.

“ Apa jika kamu sedang di kantormu dan duduk semeja dengan teman seprofesimu yang laki-laki lantas Idan bisa menyimpulkan kalau kamu selingkuh dengan laki-laki itu?”

“Ingat Pit, kita para wanita memang diberi rasa cemburu yang lebih. Dan kita lebih mendahulukan perasaan kita sehingga kadang terburu-buru menyimpulkan segala sesuatu secara terburu-buru dan sepihak. Sedangkan para lelaki lebih cenderung menggunakan akal logika dalam setiap masalah. Namun itu bukan berarti wanita tidak butuh menggunakan logikanya dan lelaki tidak butuh menggunakan perasaannya. Harusnya kedua sifat dan kecenderungan itu bisa disatukan untuk saling melengkapi.

“Dan itu bisa terjadi jika kedua pihak mau berusaha menjaga keharmonisan hubungan itu dengan mau saling mengerti dan berbagi. Bukan dengan saling buruk sangka dan mencurigai. Gimana bisa saling mengerti jika kalian tidak saling bebicara baik-baik?

Aku masih terdiam merenungi hal-hal yang selama ini kulewati dan mencerna setiap kata yang ibu ucapkan. Apakah aku memang terlalu besikap keras terhadap Idan? Padahal selama ini kuakui Idan memang lebih sering mengalah padaku. Egois. Siapa sekarang yang egois?

“Saat kamu sakit dan dia datang mengunjungimu, kamu justru mengacuhkannya.Idan merasa sangat sedih. Dia cerita ke ibu bahwa sebenarnya juga tidak ingin pergi keluar kota saat itu. Namun jika tidak dia lakukan bukankah perusahaan tempatnya bekerja bisa hancur kredibilitasnya? Dan saat itu memang hanya Idan yang dianggap mampu menangani proyek itu.

“Setiap hari dia juga selalu merindukanmu. Itulah kenapa dia selalu meneleponmu setiap hari hanya untuk mendengarkan suaramu. Dan kalau bisa keceriaanmu seperti dulu. Namun apa yang kamu lakukan? Kamu justru membuatnya khawatir dengan rewel seperti anak kecil dan mengabaikan kesehatanmu sendiri. Padahal kamu sedang mengandung anak pertama kalian.

“Jangan dipikir bahwa Idan menelepon rumah satu kali sehari Pit. Tapi berkali-kali karena dia sangat menghawatirkanmu. Dia selalu mewanti-wanti ibu agar menjagamu dengan baik, memastikan bahwa kamu sudah makan dengan baik, sudah minum vitamin dan menjaga kesehatanmu.

“Bahkan saat dia mengalami kecelakaan di tempat kerjanya sehingga kakinya sampai pincang seperti itu karena mengalami keretakan tulang, dia juga tidak memberitahumu karena dia tidak ingin membuatmu khawatir dan bertambah stress. Dia mengalami keterlambatan pulang karena itu Pit.

Jadi kaki Idan yang pincang waktu itu gara-gara kecelakaan disana? Ya Tuhan betapa bodoh dan egoisnya aku tidak sempat menanyakan kenapa kakinya bisa pincang seperti itu?

“Jadi jika saat kamu stress dan keguguran kamu menyalahkan Idan, kamu salah Pit. Maaf bukan maksut ibu menyalahkanmu. Tapi Idan tidak sepenuhnya harus menanggung kesalahan itu.

“Saat kalian saling mendiamkan, Idan sering curhat ke Ibu kalau di sangat tersiksa dengan sikapmu. Di sisi lain dia sangat merindukanmu, keceriaanmu, candamu seperti dulu namun di sisi lain dia tidak ingin mengganggumu dan ingin menjauh dulu agar kamu lebih tenang pasca keguguran. Tapi kamu malah makin berprasangka yang tidak-tidak padanya gara-gara sikapnya itu.

“Kesampingkan rasa cemburumu yang berlebihan itu Pit. Itu agar mata dan pikiranmu tidak dibutakan oleh prasangka yang tidak-tidak tentang suamimu. Ibu yakin Idan tidak mungkin melakukan hal seperti yang kamu tuduhkan karena ibu juga sangat mengenal Idan.

“Selama puluhan tahun saat kalian baru sebatas sahabat hubungan kalian baik-baik saja, saling menerima kekurangan masing-masing dan saling mengerti. Kenapa justru saat hubungan kalian semakin didekatkan oleh ikatan pernikahan, kalian malah semakin tidak mau saling mengerti? Yang karena sedikit kesalahpahaman saja sudah meretakkan hubungan kalian. Camkan kata-kata ibu baik-baik Pit. Sebelum semuanya terlambat dan memburuk lebih jauh.”

“Idan kemarin telpon jika dia mau pamitan ke kamu kalau dia mau ada tugas kerja ke Taiwan. Sebaiknya kamu telpon dia balik. Berbicaralah dengannya dari hati ke hati!”

Selepas mengatakan itu ibu meninggalkanku sendiri di teras rumah. Dalam lamunan dan kesendirianku itulah aku merenungi kata-kata Ibu barusan. Ibu belum pernah menasehatiku seserius ini. Bahkan saat dulu menganjurkanku untuk segera menikah.

Aku kembali merenungkan apakah sikapku ke Idan akhir-khir ini terlalu berlebihan? Bagaimana aku bisa sejahat ini? Bagaimana aku bisa menuduh Idan yang ternyata begitu sayang padaku kalau dia selingkuh dengan wanita lain hanya karena dia makan bareng dengan teman kerja wanitanya? Bukankah bisa saja waktu itu Idan memang sendiri dan tiba-tiba temannya itu ikut nimbrung disana? Ah kenapa aku tidak bisa berpikir lebih jernih pada waktu itu? Aku terlalu terburu-buru menyimpulkan.

Tiba-tiba aku merasa rindu sekali kepada Idan. Aku ingin meneleponnya balik. Aku ingin minta maaf dan ingin mengungkapkan seluruh perasaanku agar semuanya kembali clear. Meskipun aku tidak tahu apakah saat berbicara dengannya kata-kataku akan benar-benar keluar atau tidak. Tampaknya aku lebih fasih mengeluarkan isi hatiku ketika bertengkar daripada ketika berbicara dari hati ke hati.

Kutekan tombol-tombol pesawat itu degan nomer rumah kami. Sesaat nada sambung terdengar dan tidak ada jawaban. Kutelpon sekali lagi dan ternyata tidak ada jawaban juga.

Ya Tuhan! Apa mungkin dia sudah berangkat ke Taiwan?

Aku harus ke rumah sekarang. Aku berpamitan ke Ibu dan langsung bertandang ke rumah dengan mobilku. Jalanan kota macet lagi. Ayolah!

Setengah jam kemudian mobilku baru bisa jalan. Kupercepat laju kendaraanku. Aku berharap masih sempat bertemu dengannya dan mengucapkan permohonan maafku. Akan kukesampingkan malu, gengsi dan egoku selama ini di hadapannya nanti.

Sesampai di rumah ternyata sepi tidak ada orang. Untung aku masih bawa kunci serep. Kubuka pintu dan di bawah pintu ternyata ada surat terselip. Ditujukan buatku. Kubuka dan kubaca. Isinya surat pamitan kepadaku?

Ternyata Idan sudah berangkat dari tadi pagi! Dia akan segera berangkat ke Taiwan dengan pesawat nomer penerbangan ini?

Aku harus mengejarnya sampai bandara. Jalanan kota ternyata macet lagi! Aduuuh kenapa harus sekarang ketika aku sangat terburu-buru?

Beruntung macetnya tidak terlalu lama. Kukebut kendaraanku sampai bandara. Aku sudah berusaha secepat mungkin.

Ternyata terlambat. Keberangkatan pesawat menuju Taiwan ternyata sudah beberapa jam yang lalu.

Terlambat sudah. Idan pergi dengan tetap membawa beban kegundahannya padaku. Dan aku tetap disini dengan beban rasa bersalahku padanya.

***

Aku masih mematung di lobi bandara. Tatapanku nanar ke arah signboard penunjuk keberangkatan maskapai pesawat.

Di sela-sela lamunanku kabar itu datang. Dari pihak bandara mengabarkan bahwa pesawat terakhir yang berangat ke Taiwan dengan nomer penerbangan sekian dikabarkan mengalami kecelakaan.

DEG!

Jantungku serasa berhenti. Bukankah itu pesawat yang ditumpangi Idan tadi?

Aku menjerit! Aku masih belum percaya ini! Apakah ini saat aku harus kehilangan dia? Aku harus kehilangan Idan dan aku belum sempat mengucapkan maafku padanya? Aku belum sempat bilang kalau aku sangat merindukannya dan aku ingin hubungan kami kembali baik?

Seperti berjalan mundur melewati dimensi waktu aku kembali ke saat-saat bersamanya selama ini. Masa persahabatan kami, pernikahan simulasi kami sampai pernikahan kami yang sesungguhnya saat kami sama-sama menemukan cinta.

Pandanganku tiba-tiba mengabur dan gelap...

(Bersambung ke Part 9)
Read Comments

Simulasi pernikahan


Setelah Kau Menikahiku 7
(Pernikahan Simulasi Part 7)

Pernikahan Simulasi (Bagian 7)

Berat mata kubuka dan seketika cahaya putih berpendar menyeruak menyilaukan pandanganku. Dimana aku? Lambat laun aku tahu bahwa aku sudah ada di rumah sakit. Di sampingku sudah ada ibu yang tertidur sambil duduk dengan kepala menyandar ke ranjang tempatku berbaring. Tangannya masih erat menggenggam tanganku.

“Ibu?” pelan-pelan kubangunkan ibu. Aku ingin bertanya kenapa aku bisa disini. Seingatku aku demam, kesadaranku mulai hilang dan… ya Tuhan! Nyeri di perut bagian bawahku masih terasa sampai sekarang. Bagaimana keadaan kandunganku?

“Ibu?” sekali lagi kubangunkan ibu dan pelan-pelan ibu terbangun.

“Upit? Alhamdulillah kamu sudah siuman nak!” Melihat diriku yang sudah siuman, beliau langsung berucap syukur dan memelukku.

“Dimana Idan bu? Bagaimana keadaan kandunganku?” tanpa basa-basi langsung kutanyakan apa yang masih mengganjal dalam benakku saat ini.

“Idan masih dalam perjalanan pulang Pit. Doakan saja cepat sampai.”

“Bagaimana dengan kandunganku Bu?” Sekali lagi ku ulang pertanyaanku. Namun ibu hanya tersenyum getir dan mengalihkan pembicaraan. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Jangan-jangan?

Tapi aku tidak mau berpikir buruk dulu. Saat ini aku masih sangat lemah dan Idan bilang kemarin kalau aku tidak boleh terlalu stress. Kubalikkan badanku membelakangi Ibu. Kuabaikan tatapan ibu dan ceritanya yang aku tahu hanya untuk mengalihkan pembicaraan kami. Yang aku inginkan saat ini masih Idan. Aku ingin Idan menemaniku sekarang. Secepatnya!

Tiba-tiba pintu dibuka dan salah satu kakak sepupuku masuk dengan tergesa-gesa mengabarkan kalau pesawat yang ditumpangi Idan mengalami keterlambatan sehingga tidak bisa datang cepat.

Kubalikkan badanku menghadap mereka berdua. Kakak sepupuku ternyata tidak menyadari jika aku sudah siuman dari tadi sehingga kabar itu langsung saja ia lontarkan di depan ibuku. Aku berusaha tegar di depan ibu dan hanya bisa menitikkan air mata dan menangis kecewa di dalam hati…

Sementara ibu dan sepupuku hanya berdiri menatapku iba. Ibu menghampiriku dan menenangkanku. Aku berharap jadi tenang tapi justru malah membuatku semakin merasakan kekecewaanku.

***

Tadinya aku sudah merasa lega karena terbagun dari mimpi burukku dan kembali ke dunia nyata namun ternyata mimpi buruk itu justru ada di depan mata di dunia nyata. Setelah kabar keterlambatan Idan yang sempat membuatku sangat kecewa, kabar buruk lain datang dari dokter yang tadinya sempat disembunyikan oleh ibu.

Kandunganku.. kandungan pertamaku, aku terpaksa harus merelakan kandunganku dikuret karena kemarin aku ternyata mengalami pendarahan hebat yang entah karena apa. Aku masih beruntung karena aku mampu bertahan melewati masa-masa kritisku dan siuman dari koma berhari-hari.

Aku benar-benar merasakan kekecewaan yang sangat besar saat ini. Idan yang tidak bersamaku, yang tidak menemaniku di saat-saat seperti ini. Saat ketika aku sangat membutuhkannya.Suami macam apa dia yang lebih mementingkan pekerjaan daripada istrinya sendiri? Dan sekarang aku harus kehilangan kandunganku. Kandungan pertamaku, anak pertamaku dengan Idan.

Terpuruk. Ya itulah kata yang tepat buatku sekarang. Aku pasrah.. Upit! Apa yang terjadi padamu? Mana kemandirianmu dulu? Mana ketegaranmu? Kenapa kamu jadi seperti ini sekarang?

Yang jelas aku sangat kecewa saat ini!

Idan baru datang hari berikutnya. Dia terlihat sangat letih dari perjalanan jauhnya. Tapi aku tidak peduli. Aku masih sangat kecewa padanya. Aku masih marah padanya. Dan apakah dia sudah tahu kabar gugurnya kandunganku? Ah pasti Ibu sudah memberitahunya.

“Maafin aku Pit.” Idan datang menghampiri tempatku berbaring dan menggenggam tanganku. Kuhempaskan tangannya dan kubalikan badanku membelakanginya. Aku sangat rindu padanya tapi untuk saat ini aku sedang tidak igin melihat wajahnya.

“Maafin aku Pit. Aku gak bisa menemanimu di saat-saat beratmu. Ibu dah cerita semuanya dan aku juga sangat sedih Pit dengan kejadian yang menimpamu saat ini. Yang menimpa anak kita juga..”

Aku tetap bergeming. Pura-pura tak menghiraukan perkataannya. Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya sekarang tapi aku yakin pasti dia sedang pasang tampang sok memelas seperti biasanya ketika meminta maaf.

“Ayolah Pit, jangan begini terus. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf sekali Pit. Aku rindu sekali padamu Pit.”

Kata-kata terakhirnya manis sekali. Tapi tidak untuk saat ini. Kamu harus dihukum Dan. Kamu harus merasakan dan menyadari betapa kecewanya diriku padamu.

Aku ingin menghukumnya seperti dulu. Seperti ketika dia membuatku sakit selama seminggu dan terpaksa merelakan diriku dia rawat seperti bayi. Hanya saja kali ini aku tidak berminat menyuruh-nyuruhnya melakukan ini itu lagi seperti dulu. Terbukti sudah tidak mempan dan malah akan membuatku merasa iba padanya. Kali ini aku hanya ingin mendiamkannya.

Tapi reaksinya ternyata sama saja. Dia sama sekali tidak protes seperti dulu dan ikut-ikutan diam seribu bahasa. Huuh gimana sih? Kok tidak mengejar-ngejarlagi? Kok tidak berusaha lagi minta maaf dan menyalahkan diri sendiri? Padahal kan jelas dia yang salah? Payah!

Awas nanti! Ini akan berlangsung lama Dan! Jangan dikira aku hanya mengertak saja.

Sesaat kemudian Ibu datang. Melihat interaksi kami yang terkesan dingin, ibu pun mengajak Idan keluar dan bicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Paling Cuma bilang: Sabaaarrr…

Tapi, eh kok Idan jalannya agak pincang ya? Kenapa dia? Ah masa bodoh aku gak peduli. Dia juga tidak memperdulikanku. Bahkan meninggalkanku di masa-masa mengandung anak kami berdua. Aku sudah melarangnya tapi dia tetap bersikukuh pergi. Egois!

***

Beberapa hari kemudian kondisiku sudah agak baikan dan diperbolehkan pulang. Saat keluar dari rumah sakit dan menuju mobil jemputan aku tidak mau dipapah oleh Idan. Aku maunya sama Ibu saja. Ibu yang tahu kondisi hubungan kami saat ini mengiyakan saja.

Diperjalanan pulang kami tetap saling diam. Hanya Ibu yang lebih banyak bicara dengan kami. Itupun bergantian. Kadang berbicara dengan Idan, kadang berbicara denganku. Tidak ada interaksi yang hangat sama sekali di antara kami bertiga. Aku tetap bersikukuh tidak mau bicara dengan Idan, dan Idan juga diam saja di tempatnya menyetir mobil.

Sampai di rumah aku dipapah lagi oleh Ibu. Dan berat rasanya ketika ibu berpamitan pulang karena tugasnya menjagaku sudah selesai. Sudah ada Idan katanya. Ini berarti tidak ada lagi orang yang bisa kuajak bicara. Tidak juga Idan karea aku memang tidak ingin bicara padanya.

“Ibu pulang dulu ya? Jaga diri kamu baik-baik Pit. Jangan sedih lagi. Idan udah pulang tuh.” Sebelum keluar pintu Ibu masih sempat menasehatiku. Aku hanya mengangguk.

“Dan kamu Dan, ibu nitip Upit ya? Jagain baik-baik!”

“Iya bu.” Jawab Idan

"Yaudah. Ibu berangkat dulu. Taksinya sudah nunggu dari tadi. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumusalam..”

Setelah mengucap salam ibu pergi dengan taksi. Aku masih mematung di teras sementara Idan masuk sendiri ke rumah.

***

Bukan ini yang aku harapkan. Setelah berbagai kejadian yang menimpaku, kepulangan Idan dan kebersamaan kami lagi di rumah, bukannya membuat hubungan kami kembali dekat tapi malah makin renggang.

Aku mendiamkan Idan namun ternyata Idan juga tidak menyapaku. Berusaha mendekatiku pun tidak. Apa dia sudah tidak mencintaiku lagi? Apa dia kecewa dengan sikapku? Sama kecewanya dengan kekecewaanku padanya? Atau jangan-jangan dia kecewa karena aku gagal menjaga kandunganku? Gagal mempertahankan anak kami?

Apalagi Idan makin sering pulang malam sekarang. Dan selama berhari-hari ini tak ada interaksi sama sekali di antara kami. Bertemu pun jarang karena dia akan berangkat sangat pagi dan pulangnya sangat larut malam. Dan kami juga tidak tidur sekamar lagi. Dia lebih suka tidur di sofa ruang tengah.

Ah berbagai dugaan yang kupikirkan makin membuatku gelisah berhari-hari. Jangan-jangan Idan sudah memiliki wanita idaman lain seperti yang sering kulihat di infotainment. Yang ketika hubungan suami-istri sudah mulai tidak harmonis maka salah satu akan melampiaskannyadengan menggaet pasangan idaman lain? Ah memikirkan itu saja sudah membuatku pusing dan bingung saat ini.

Daripada penasaran mending aku selidiki apa yang dilakukan Idan pada jam-jam siang begini di kantornya. Lagian aku bosan di rumah terus dalam masa penyembuhanku saat ini. Selain itu aku juga harus bertemu dengan Idan dan bicara. Aku ingin semua kembali baik lagi seperti dulu. Aku ingin semuanya jadi jelas.

Aku pun bertandang ke kantornya dengan mengendarai mobilku sendiri. Jalanan kota siang ini sering sekali macet dan itu membuatku makin sebel dan stress. Langit terlihat mendung dan akan turun hujan. Kelam dan kalut sekalut pikiranku sekarang.

Sesampai di kantor Idan dan memasuki pintu gerbang, satpam penjaganya hanya sepintas melirikku saja tanpa memeriksa atau menginterogasiku sepert yang biasa dilakukan terhadap tamu-tamu yang lain.

Mungkin karena melihat pakaianku yang terlihat resmi dengan blazer merah hatiku dan rok panjang hitamku dia mengira aku tamu penting yang biasa mendapat perlakuan khusus.

Masuk area parkir ternyata lumayan jauh dari pintu kantor. Kuparkir mobilku di lokai terdekat dengan pintu keluar agar tak repot nanti kalau mau balik.

Saat menuju pintu utama kantor aku melewati sebuah kantin fastfood kantor itu. Kantin itu terlihat besar dengan jendela kaca memenuhi sebagian besar dinding kantin itu.

Saat lebih dekat, dari luar jendela besar itu aku lihat Idan sedang duduk sendiri sambil membaca sebuh buku kecil dan menghadap secangkir kopi. Bergegas aku mendatanginya.

Saat jarakku dengan jendela besar itu tinggal beberapa langkah lagi aku berhenti karena kulihat Idan ternyata tidak sendiri. Ada seorang wanita muda cantik menghampiri Idan, duduk semeja dengan Idan dan mereka terlihat bercengkerama, tertawa-tawa bersama. Siapa dia? Jangan-jangan dugaanku benar?
...................................

(Bersambung ke part 8)
Read Comments

Simulasi Pernikahan


Setelah Kau Menikahiku 6
(Pernikahan Simulasi Part 6)

Pernikahan Simulasi (Bagian 6)

“Selamat, anda positif” Ujar dokter cantik itu sambil mengulurkan selembar kertas yang isinya tidak kumengerti.

“Maksutnya dok? Saya kena penyakit apa?”

“Anda tidak sakit, anda positif hamil sekarang” dokter itu tersenyum.

“Hamil?” tanyaku masih belum percaya.

“Iya dan selamat anda akan segera menjadi seorang ibu”

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain senyum yang kupaksakan tersungging di depan dokter itu karena di benakku masih ada sisa-sisa keterkejutan yang teramat sangat. Entah bagaimana perasaanku sekarang aku masih belum paham. Namun ada kebahagiaan tersirat di dalamnya. Kebahagiaan macam apa ini? Apakah ini rasanya jika akan menjadi seorang ibu? Rasanya akan punya anak yang lahir dari rahim sendiri? Mungkin ini seperti yang dikatakan Idan jika punya anak sendiri pasti berbeda rasanya dengan jika hanya anak angkat.

Kutelpon ibu. Kukabarkan kebenaran tebakan ibu tadi. Dari seberang sana kudengar ibu histeris bahagia.

“Sudah kau beritahu Idan?”

“Belum” jawabku pendek.

“Segera beritahu dia! Dia pasti sangat senang!”

“Iya nanti lah. Udah dulu ini taksinya sudah datang. Assalamu’alaikum”

“Oh iya. Wa’alaikumusalam”

Kututup handphoneku dan segera menyetop taksi yang lewat.

Dalam perjalanan pulang aku masih bertanya-tanya entah apa yang akan kukatakan pada Idan nanti di rumah? Dan seperti apa nanti reaksinya?

***

Sampai rumah Idan belum pulang. Masih beberapa jam lagi dia biasanya baru pulang.

Rasanya sepi sekali sendirian begini. Padahal hari-hari sebelumnya biasa saja rasanya sendirian di rumah. Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini? Aku jadi merindukan Idan. Aku ingin dia segera pulang sekarang.

Aku beranikan diri meneleponnya. Sesaat nada tunggu terdengar nyaring di telingaku sampai akhirnya suara orang yang kutunggu-tungguitu terdengar.

“Halo Pit? Ada apa? Kamu udah baikan?”

“Kapan kamu pulang?” aku langsung pada pertanyaan intiku.

“Oh dua jam lagi aku pulang. Sabar ya? Kamu mau dibelikan lauk apa buat makan malam nanti? Mau gulai kepala kakap gak?”

“Terserah apa aja. Aku mau bilang sesuatu ke kamu” kataku. “Hati-hati di jalan nanti”

“O iya. Jaga diri baik-baik di rumah ya?”

Entah kenapa aku yang menginginkan Idan pulang cepat ternyata tidak punya cukup keberanian untuk memaksanya pulang sekarang. Aku tidak ingin lebih dulu merusak suasana karena aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya nanti.

Aku tidak tahu harus ngapain sekarang sambil nunggu Idan. Akhirnya aku duduk melamun di dekat jendela sambil menunggunya pulang.

Berbagai pikiran melintas di benakku sampai aku tersadarkan oleh suara klakson di depan rumah. Tandanya Idan sudah pulang. Kuintip dari jendela lantai dua. Kulihat dia tampak lelah sekali, keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk sambil menenteng bungkusan yang aku tahu itu pasti lauk yang ia janjikan tadi.

Aku langsung turun dan menyambutnya.

“Hai Pit. Kamu tampak udah baikan sekarang” sapanya.

“Aku kan sudah bilang aku tidak apa-apa.”

“Kita langsung makan malam yuuk. Ini aku sudah bawakan gulai kepala kakap yang aku janjikan tadi.”

“Sebaiknya kamu mandi dulu dan ganti pakaian. Bau sekali” saranku padanya. Entah kenapa aku merasa keringat Idan lebih bau hari ini.

Idan menurut dan langsung ke kamar buat menaruh tas kerja, mandi dan ganti pakaian. Aku menunggunya di meja makan sambil mengeluarkan nasi yang belum sempat dimakan tadi pagi dari ricecooker.

Idan datang ke ruang makan dengan wajah yang sudah lebih segar dari yang tadi. Entah karena dia kurang bersih membilas sabun mandinya tadi atau apa, aku merasa bau sabun mandi yang dikenakan Idan masih sangat menyengat.

Kami pun mulai makan. Idan membuka bungkusannya tadi dan menuangkannya di mangkok sedang sambil bertanya,

“katanya mau bicara sesuatu padaku?”

“Iya, tapi kamu makan dulu aja. Aku takut setelah kubilangin, kamu jadi gak doyan makan nanti”

“Masak? Jadi penasaran nih. Jangan bilang kamu mau ngingetin berakhirnya kontrak pernikahan simulasi kita lagi seperti dahulu hehehe” canda Idan.

Aku melengos dan kutinju tangannya. Dia mengelak.

Sesaat kulihat gulai kepala kakap yang sepintas sangat menggiurkan. Namun saat kusendok sedikit ke piringku, tiba-tiba baunya jadi sangat menyengat dan mual-mual yang sempat menyerangku tadi pagi terasa kembali. Aku langsung lari ke kamar mandi diikuti Idan yang terkejut.

“Kamu gak apa-apa kan Pit? Kalau sakit ayo aku antarkan ke dokter.”

Di dalam kamar mandi aku masih diam karena masih menahan muntah. Barulah setelah muntahnya mereda aku keluar dan dengan dipapah Idan aku menuju kamar untuk sekedar berbaring sejenak. Saat sudah berbaring Idan menungguiku di samping tempat tidur.

“Kamu makan aja dulu. Aku lagi gak selera makan” perintahku padanya.

“Kamu masih sakit Pit. Ayo kuantar ke dokter!” Idan tidak memperdulikan perintahku tadi.

“Aku gapapa” desahku.

“Tapi jelas kamu seperti ini! Bagaimana kamu bisa bilang gapapa?”

“Aku beneran gapapa Dan. Tadi aku sudah ke dokter.”

“Kamu ke dokter? Diantar sama siapa?”

“Sendirian”

“Sendiri? Kenapa tidak minta aku buat mengantarkan tadi pagi? Kalau aku udah di kantor kenapa tidak minta ibu atau temenmu buat ngantarkan? Nanti kalau kamu pingsan di jalan gimana? Siapa yang njagain?” Idan mencercaku dengan banyak pertanyaan.

“Aku ga mau ngerepotin kamu dan ibu. Lagian aku gapapa kok. Buktinya aku gak pingsan di jalan, masih bisa pulang dan ketemu kamu?”

“Tapi Pit, aku kan suamimu? Aku jelas khawatir!” Idan tampak gemas.

“Aku tahu. Udahlah jangan diperdebatkan lagi. Aku sedang tidak punya tenaga untuk berdebat denganmu seperti biasanya. Aku cuma mau ngomong sesuatu ke kamu.”

Tatapan Idan pun melembut dan bertanya “Mau ngomong apa”

“Janji jangan kaget ya?” pintaku sambil mengulurkan jari kelingkingku sebagai tanda persetujuan janji.

Idan menyambutnya sambil berkata “Asalkan jangan bilang mau ngingetin berakhirnya kontrak pernikahan simulasi kita aja. Kalau yang itu mungkin aku akan kaget setengah mati, kena serangan jantung dan mati mendadak hehehe”

Kutinju lagi tangannya. Dia mengaduh kesakitan. Dasar Idan tak pernah berhenti mencandaiku.

“Aku hamil Dan” kataku pendek namun cukup untuk menghentikan tawa Idan seketika.

Aku menunggu reaksinya. Dia masih diam tak berkata- apa-apa sambil menatapku. Aku tak bisa membaca ada apa di balik tatapannya itu dan tiba-tiba dengan cepat Idan menarikku dan memelukku erat sambil berkata “ Aku belum pernah sebahagia ini Pit”

Aku pun turut larut dalam kebahagiaan itu. Kebahagiaan Idan. Kebahagiaan kami..

^^^^^^^^^^^^^

Aku menjalani masa-masa kehamilan selayaknya perempuan-perempuan hamil yang lainnya. Gak boleh begini, gak boleh begitu, gak bisa ini gak bisa itu, gak boleh makan ini gak boleh makan itu. Setiap hari selalu dicereweti Ibu yang tiap hari telpon buat memastikan kalau anak perempuanya ini bener-bener baik-baik saja. Menyebalkan tapi aku nikmati saja saat-saat seperti ini. Mungkin inilah asyiknya pernak-pernik jika menjadi calon ibu.

Idan juga makin memanjakanku. Tiap hari ia membelikanku berbagai macam hadiah kejutan. Katanya biar aku senang. Jika aku senang maka anak dalam kandunganku pun juga senang. Apapun yang kumau juga diusahakan oleh Idan untuk dipenuhi. Idan menuruti saja apa kata ibu yang bilang kalau orang hamil minta sesuatu tidak dituruti, maka anaknya nanti akan jadi ngileran. Ah tahayul menurutku. Emang ada penjelasan ilmiahnya?

Tapi ada untungnya bagiku karena aku jadi bisa minta apa aja ke Idan. Tapi aku juga masih perasaan karena aku juga tak mau membuat Idan makin kelimpungan di samping kesibukannya mencari nafkah yang sebenarnya aku sendiri juga mensuplai cukup banyak untuk kebutuhan rumah tangga kami.

Dalam masa kehamilan ini sebenarnya aku tidak terlalu rewel untuk masalah makanan dan susu nutrisi ibu hamil. Cuma mungkin jadi agak sensi ketika bertemu dengan makanan yang bersantan dan berbau menyengat karena bau yang dalam kondisi biasa akan tercium biasa saja, kali ini akan tercium berlipa-lipat lebih menyengat dan membuatku mual-mual.

Idan pun menyesuaikan diri dengan membuat makanan-makananyang baunya tak terlalu menyengat, jika membuat sayur menghindari yang bersantan dan dia harus rela meninggalkan makanan kesukaannya: gulai yang paling tidak harus ia hindari sampai aku melahirkan nanti. Makan di luar? Tetap tidak bisa karena jika pulang nanti pasti aku masih bisa mencium baunya.

Setiap hari Idan sibuk membuat list apa saja yang harus dibeli untuk kebutuhan bayi kami nanti. Ia bahkan membeli banyak buku-buku tentang kehamilan dan persiapan melahirkan mulai dari tips dan trik sampai buku tentang nama-nama anak yang bagus. Aku bahkan belum sempat membaca buku-buku itu. Kulihat Idan juga jarang membacanya. Lalu untuk apa dibeli? Mungkin gejolak sesaat saja karena ia masih gugup mengetahui dirinya akan menjadi calon ayah buat anak pertama kami ini.

Aku masih bekerja meskipun mungkin agak berkurang intensitasnya. Idan sudah melarangku bekerja. Namun itu berarti aku harus meninggalkan pekerjaanku sekarang dan aku gak mau itu sampai terjadi. Aku pun bersikeras kalau aku gak ngapa-ngapain justru malah akan makin bosan, susah, capek pikiran dan malah jadi gak sehat. Idan pun mengijinkanku bekerja sampai masa-masa ketika aku perlu cuti nanti dengan catatan aku tidak boleh terlalu capek, stress dan harus banyak-banyak istirahat. Aku mengiyakan saja.

Yang jelas hari-hari kehamilanku tak kurang apapun, penuh kejutan dan kebahagiaan selama ini sampai suatu sore ketika Idan pulang cepat dan mengabariku kalau ia harus tugas keluar kota.

“Aku ada tugas keluar kota Pit. Jadi kamu akan sendirian di rumah untuk beberapa waktu. Besok pagi aku berangkat”

“Kenapa tiba-tiba sekali? Sampai berapa lama? Kok harus kamu sih? Apa gak bisa orang lain? Temen-temenmu? Nanti kalau aku butuh sesuatu ke siapa dong? Kok kamu tega sih ninggalin aku di saat-saat seperti ini?”

Aku menjejalinya dengan pertanyaan-pertanyaan kebingunganku. Sebenarnya bukan karena “jika aku butuh sesuatu minta ke siapa” karena aku juga bisa sendiri atau minta ke ibu. Yang aku butuhkan saat ini adalah Idan. Aku butuh bersama dia, aku butuh dia menemaniku di masa-masa labilku sekarang ini.

“Kamu jangan gitu donk Pit. Bukannya aku tega. Ini murni urusan pekerjaan. Harusnya bosku yang bertemu dengan klien di sana. Tapi tadi bos mendadak tidak bisa dan dia mau aku yang menggantikannya. Dia cuma percaya sama aku buat menggantikannyamengingat proyek ini sangat penting bagi perusahaan kami. Mungkin selama hampir dua bulanan. Aku sudah telpon Ibu. Aku minta tolong beliau agar menjagamu selama aku keluar kota.”

“Lagian gak lama-lama amat kok. Kamu pasti senang ditemani Ibu di rumah. Kalian bisa sharing tentang pernak-pernik kewanitaan dan persiapan melahirkan tanpa harus diikut campuri oleh laki-laki. Ibu tentu lebih tahu tentang itu.”

Panjang lebar dia mengungkapkan alasannya. Sejujurnya aku masih gak rela jika di pergi sekarang. Saat masa-masa aku sangat membutuhkan kehadirannya namun aku tak kuasa menahannya lagi. Aku tak punya daya lagi untuk berbantah-bantahan dengannya. Tubuhku terasa lemah sekali saat hamil ini dan malas melakukan hal-hal yang menyita tenaga dan pikiran. Apalagi yang membuat stress.

Tapi bukankah saat ini saja aku sudah stress menghadapi kenyataan bahwa selama dua bulan ke depan aku akan sendirian tanpa Idan? Meskipun ditemani ibu tapi akan tetap sepi tanpa Idan. Aku heran mengapa aku jadi melankolis dan tak berdaya seperti ini? Kontras sekali dengan aku dulu yang cenderung mandiri dan tak butuh orang lain. Kulakukan banyak hal sendirian. Namun sekarang? Aku benar-benar tak berdaya jika sendiri. Tak terbayang bagaimana hari-hariku nanti tanpa Idan. Meskipun hanya sementara. Ya kuharap sementara saja.

Akhirnya kuijinkan dia dengan berat hati dan dengan segala konsekuensi. Mulai besok pagi Idan akan berangkat keluar kota dan aku akan sendiri. Aku pasti akan sangat merindukannya. Ah kuakui hari-hari yang telah kulalui dengan Idan selama ini memang tak pernah membosankan.

Mungkin akan jadi membosankan jika tanpa dia.

***

Pagi-pagi sekali Idan berangkat dijemput temannya.

“Jaga diri kalian baik-baik ya. Aku akan cepat kembali” Idan berpamitan padaku sambil mengecup keningku.

“Hati-hati di jalan” jawabku pendek.

Aku berusaha bersikap biasa saja saat dia berpamitan. Sebenarnya banyak pesan yang ingin kusampaikan padanya: jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, jaga kesehatan, jangan lupa telpon aku setiap hari, jangan bikin masalah dengan orang lain, cepetan balik dan banyak lagi.

Namun semua terasa berhenti di tenggorokan. Aku sangat mengkhawatirkannya namun aku tak kuasa menyampaikannyakarena aku takut ketegaranku di depannya akan runtuh seketika ketika aku berbicara lebih banyak dan tangisku tumpah. Aku jadi agak cengeng akhir-akhir ini.

“Jangan khawatirkan diriku. Justru aku yang mengkhawatirkandirimu. Dan anak kita tentunya” Idan seperti bisa membaca gundah di benakku.

Aku mengangguk. Idan meninggalkan rumah dengan tetap menatapku. Kekhawatiran yang sangat mendalam dalam sorot matanya. Aku berusaha tetap tersenyum mengantarkan kepergiannya.

“Cepat balik!!”

Hanya kata itu yang terakhir bisa kuteriakkan padanya dari jauh di sela-sela senduku yang tertahan. Entah kenapa aku merasa sangat khawatir kali ini.

Tangisku tumpah saat mobilnya sudah tidak terlihat. Aku buru-buru masuk rumah dan membenamkan wajahku di bantal. Aku sebal sekali kenapa aku bisa begitu cengeng sekarang.

Dulu di awal-awal pernikahan saat Idan pergi dan tak pulang-pulang bahkan aku nyaris tak peduli. Apa semua karena cinta?

Beberapa saat kemudian Ibu datang. Aku hapus air mataku dan keluar menyambut Ibu.

“Kamu habis nangis Pit?” Ibu seperti bisa menangkap apa yang barusan terjadi.

“Enggak. Cuma kelilipan tadi” sanggahku.

“Sudahlah, Idan kan Cuma pergi beberapa waktu saja. Tak akan lama. Kan ada Ibu yang menemani sementara?” Ibu seperti faham dan memaklumi kebohongaku.

Aku Cuma tersenyum. Kujawab dalam hati, Iya Bu memang tidak sendiri karena Ibu temani. Tapi hatiku yang terasa sepi karena tidak ada Idan di sisi.

***

Hari-hariku tanpa Idan benar-benar sepi. Meskipun aku bisa ngobrol sama ibu tapi rasanya tetap beda. Ngobrol sama ibu lebih banyak seriusnya. Kadang ibu berusaha menghiburku dengan lelucon-leluconala tahun 70-annya tapi buatku itu tak lucu sama sekali. Idan tetap lebih lucu bagiku mengalahkan pelawak manapun.

Saat jadi sahabatku ia selalu berhasil menghiburku dengan lelucon-leluconkonyolnya bila aku lagi sedih. Meskipun kadang malah membuatku makin sebel dan dia jadi sasaran tinju dariku.

Tiap hari Idan telpon mengabarkan dia lagi dimana, menanyakan apakah aku baik-baik saja, bagaimana kesehatanku, apakah aku sudah makan atau belum, aku lupa minum susu ibu hamil apa tidak dan banyak hal. Aku biasanya hanya menjawab pendek-pendek saja. Yang kubutuhkan saat itu hanya mendengarkan suaranya saja. Aku sudah senang.

Tanpa Idan yang setiap hari rajin mengurusku aku jadi malas makan dan malas melakukan apa saja. Bukannya aku tak menghargai kerja keras ibuku yang beberapa waktu ini mengurusku tapi sudah kubilang dari awal bahwa bersama Idan akan lain rasanya. Aku sudah terbiasa apapun dengan Idan.

“Ayolah Pit makan. Ibu sudah capek-capek membuatkanmu bubur ayam masak gak disentuh sedikitpun?”

“Belum laper” jawabku sekenanya.

“Tapi nanti kalau kamu gak makan kan kamu sakit? Pikirkan kesehatanmu Pit! Pikirkan anakmu!” Ibu mulai menceramahiku.

“Aku maunya disuapi sama Idan”

“Apa? Idan kan masih di luar kota? Masak ya kamu minta dia balik cepat-cepat hanya buat nyuapin kamu makan? Jangan kekanakan kamu Pit!”

Aku diam saja. Ibu kembali ke dapur sambil ngomel. Beberapa saat kemudian datang lagi sambil bilang alau Idan telpon.

“Halo Pit?” Suara di seberang sana tampak sedang gembira sekali.

“Ya?” jawabku pendek.

“Udah makan? Kata ibu kamu susah makan akhir-akhir ini kenapa? Nanti sakit lho”

“Aku belum lapar. Nanti aja kalau dah lapar. Atau kalau kamu sudah pulang”

“Hah? Jangan main-main kamu Pit. Aku kan masih sebulan lagi baru balik? Sabar dong Pit pangeranmu ini akan segera datang hehe”

Kali ini sama sekali tak lucu. Ya tak lucu.

***

Kondisi kesehatanku semakin buruk. Aku semakin susah makan dan minum vitamin. Ibu jadi makin kerepotan mengurusiku yang makin rewel seperti bayi. Berkali-kali ibu telpon Idan dan Idan membujukku tapi tak satupun bujukannya kuhiraukan. Yang kumau sekarang adalah dia ada disini sekarang.

Paginya aku mengalami demam tinggi. Ibu panik dan menelpon dokter. Setengah tak sadarkan diri samar-samar kudengar ibu juga menelpon keluarga di rumah buat minta bantuan segera.

Rasanya kesadaranku semakin memudar. Kurasakan nyeri yang teramat sangat di perut bagian bawahku. Sesuatu yang panas membasahi rok dan sprei tempatku terbaring. Dan selanjutnya gelap…

***

(Bersambung ke Part 7)
Read Comments

Simulasi Pernikahan


Setelah Kau Menikahiku 5
(Pernikahan Simulasi Part 5)

Pernikahan Simulasi (Bagian 5)

"Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini."

"Berapa lama?"

"Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin."

"Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua."

"Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan aku."

"Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?"

Aku menghela napas panjang. "Entahlah, Pram, " bisikku.

"Apa maksudmu?" suara Pram terdengar kaget.

"Aku.... Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita."

"Ita! Kau tidak.... Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?"

"Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya."

"Tapi kau tidak bahagia!"

"Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia."

"Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini."

"Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri."

"Ita, kau tidak mencintainya!"

"Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup."

"Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?"

"Aku tidak pernah akan lupa, Pram."

"Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?"

"Idan mengajariku tentang cinta."

"Hanya karena itu?"

"Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya."

"Ita...."

"Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi."

Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

"Upit."

Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.

"Aku tak bisa melihatmu begini," lanjutnya pelan. "Ini keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?"

Aku mengangguk.

"Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit."

Aku mengangguk.

"Kau akan menyesal."

Aku mengangguk.

"Kau akan sedih, kecewa...."

Aku mengangguk.

"Kau tidak mencintaiku."

Aku menggeleng.

Idan terbelalak. "Upit!" pekiknya tertahan. "Idan!"
Ya. Begitulah pada akhirnya status “simulasi” dalam pernikahan kami berakhir. Waktunya menghadapi keseriusan bahwa aku sekarang sudah benar-benar menjadi istri Idan yang sah meskipun sebenarnya dari awal pernikahan kami, akad itu sudah sah menurut agama karena ternyata Idan mengucapkan ijab qobulnya dengan sungguh-sungguh. Hanya aku saja yang waktu itu menganggab bahwa pernikahan kami semata-mata hanyalah simulasi belaka. Namun nyatanya? Idan serius mencintaiku yang malangnya aku tak pernah menyadarinya sebelumnya.

Dan berakhir pula hubunganku dengan Pram yang semula aku harapkan akan jadi masa depan impianku. Namun, bukankah di dunia ini apapun bisa terjadi? Segalanya bisa berubah dengan sangat cepat semudah membalikkan telapak tangan kita.

Perceraian yang kami rencanakan sebelumnya pun batal. Dan kami hanya ingin kami sajalah yang mengetahui perihal itu… Oh tidak hanya kami, tapi juga Pram yang juga mengetahuinya. Biarlah keluarga, kerabat dan teman-teman tetap menganggap tidak terjadi apa-apa yang serius di antara kami dan biarlah mereka tetap dengan anggapan bahwa kami hidup bahagia selayaknya suami istri pada umumnya.

Masih terngiang betapa terpananya Idan ketika aku bilang aku juga mencintainya. Ada gurat kebahagiaan tiada tara di wajahnya, pendar takjub di matanya dan seulas senyum di bibirnya yang entah aku masih sulit mengartikan senyum itu. Ia memelukku erat-erat seolah tidak mau lagi kehilangan diriku lagi. Dan akupun memeluknya dengan haru di wajahku yang entah kurasa cukup untuk mengatakan “Maafkan segala ketololan dan kebutaanku selama ini” karena saat itu aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku begitu tercekat menahan tangisku. Tangis penyesalan atas segala kesalahan dan tangis keharuan atas keputusan besar yang baru saja aku ambil.

Aku tidak tahu seberapa besar aku mencintainya setelah semua yang telah terjadi namun hal itu sudah membuat Idan begitu bahagia. Yang jelas, sekarang aku benar-benar sedang belajar mencintainya, memulai kembali aktivitas kami seperti hari-hari awal pernikahan “simulasi” kami, dan merenda jalinan cinta sesungguhnya yang tidak pernah ada di awal pernikahan kami yang aku anggab hanya simulasi.

Aku mulai mengagumi segala kelebihan Idan dan aku mulai lagi belajar menerima kekurangannya, kebiasaan-kebiasaan buruknya dan segala kekonyolannya. Bahkan aku mulai sering menemaninya menonton film-film action kesukaannya, menemaninya bermain bola pada akhir pekan namun dengan konsekuensi, dia juga harus menemani aku jalan-jalan dan jadwalnya bergiliran. Dia juga tidak boleh protes jika aku sedang menikmati music-musik orchestra kesayanganku. Impas lah istilahnya.

Awalnya memang sangat sulit dan menyiksa diri namun ketika bad mood itu datang, kupandangi wajah Idan yang begitu bahagia saat kutemani, keantusiasannyabercerita ini-itu untuk menghiburku, ku ingat bahwa dia tidak pernah mengeluh saat aku memintanya menemani aku jalan-jalan yang mungkin sebenarya sangat membosankan baginya. Pengorbanan.

Ya, mungkin memang perlu pengorbanan dari masing-masing dalam menjaga keharmonisan hubungan dalam rumah tangga. Setidaknya, itulah salah satu hal yang kucatat ketika kami menjalani pernikahan simulasi sebelumnya.

Idan pun makin lama kurasakan makin memanjakanku. Banyak hal yang harusnya kulakukan sebagai seorang istri, malah Idan yang melakukannya. Sebelum berangkat kerja dia masih sempat menyiapkan sarapan untukku. Bahkan jika aku sedang kecapekan dan tak sempat mencuci bajuku sendiri, dia pula yang mencucikan dan menyetrikanya. Dan herannya aku tak bisa menolaknya. Justru aku menikmatinya karena dia selalu melakukan hal-hal itu dengan senyum terkembang yang sulit kuartikan. Hmm paradox sekali dengan diriku beberapa tahun lalu saat masih lajang, sebagai wanita karir yang terbiasa mandiri dan tak pernah mau membebani orang lain.

Ada apa denganku? Tapi sebisa mungkin aku mengimbanginya dengan berusaha membantu pekerjaaanya dan menemaninya melakukan aktivitas rutin jika diperlukan. Aku usahakan membuat kesan bahwa segala hal bisa kami lakukan bersama. Berdua.

Namun ada kalanya kami sibuk dengan keasyikan masing-masing. Tentu setiap orang kadang butuh sendiri. Ya seperti sekarang ini, ketika aku sibuk menimang-nimangdan menata baju-baju baru kesayanganku, Idan juga sibuk sendiri di depan computer canggih kesayangannya.

Dengan sedikit mengendap-endapkuintip ia di ruang kerjanya. Dia sedang asyik membuka-buka program yang entah aku tak tahu apa fungsinya. Serius banget. Hmm mungkin perlu sedikit dikagetkan. Pelan-pelan kubuka pintunya dan diam-diam aku berjalan di belakangnya dengan niatan menggelitikinya. Aku tahu banget kalau Idan sangat sensitif jika digelitiki dan dia bisa sampai tertawa terbahak-bahak sambil minta ampun.

Sedikit lagi sampai. Tapi sebelum aku sempat menyentuhnya, dengan cepat Idan lebih dulu menarik tanganku sehingga aku jatuh ke pangkuannya dan justru dia yang lebih dulu menggelitikiku.

“Aaaaaa hentikan!” pintaku karena akupun tak tahan digelitikin.

Idan terbahak. “Rasakan nona manis. Ini akibatnya jika berusaha menjahili orang.”

“Kok bisa tahu sih?” tanyaku heran.

Dengan masih belum berhenti menggelitikiku,mata idan melirik nakal ke kaca kecil yang terpasang di samping monitornya. Oooh ternyata cerdik juga orang ini. Dia baru berhenti menggelitikiku saat aku berontak dan balas menggelitikinya. Dia menjerit-jerit minta ampun dan melepaskanku. Aku bergegas keluar ruangan dan sebelum aku menutup pintu idan masih sempat nyeletuk.

“Jangan kira kalau pangeran tampan ini gak tahu jika sang putri suka diam-diam mengintipnya hahaha”

Huuuh. Kututup pintu ruang kerjanya dengan sebel. Dalam hati aku merutuki diriku sendiri kenapa sih akhir-akhir ini aku suka melakukan hal-hal yang aneh seperti barusan. Bikin tengsin saja. Maluuuu…!!!

***

Pagi ini aku berusaha bangun lebih pagi dari biasanya mengalahkan keinginanku untuk tidur lagi setelah subuh. Kulirik sesosok lelaki disampingku, tak seperti biasanya Idan tidur lagi. Mungkin ia sangat kecapekan setelah semalaman lembur mengerjakan proyek terbarunya. Hmm di sampingku? Iya Idan tidur di sampingku. Perlu diingat bahwa kami sekarang sudah menjadi suami-istri yang sesungguhnya. Bukan lagi “simulasi”.

Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur kami. Aku keluar dan kututup pintu pelan-pelan agar Idan tidak terbangun. Tiba-tiba kubuka kembali pintu itu. Ingin sekali memandangi Idan yang tertidur pulas dengan wajah yang sama sekali berbeda dari saat dia sadar dan penuh dengan kekonyolan. Manis juga.

Aku sengaja bangun lebih pagi karena aku ingin mempraktekkan resep yang diam-diam telah kupelajari selama beberpa hari ini. Aku ingin menyiapkannya untuk sarapan Idan. Sarapan yang belum pernah kusiapkan sekalipun untuknya selama kami menjadi suami-istri. Biasanya selalu Idan yang menyiapkan sarapan kami. Maklum aku kan tadinya suka bangun telat. Dan hebatnya lagi hal itu tidak pernah diprotes oleh Idan.

Meskipun yakin aku telah hafal dan paham dengn resep masakan kemarin, tapi aku masih ragu. Kubaca-baca kembali buku resepnya. Nah, sekarang aku sudah yakin dan segera kusiapkan alat-alat dan bahannya. Duuuh Idan jangan bangun dulu ya sebelum semuanya selesai? Ini pasti akan berantakan sekali..

***

Air di panci masakanku sudah terdengar mendidih. Tandanya masakanku sudah matang. Sup santan jagung asparagus, resep yang kudapatkan dari sebuah majalah wanita langganan ibuku. Kuangkat dan kutuang ke mangkok besar pemberian Ibuku. Dari aromanya sih tercium menggiurkan. Rasanya? Perlu kucoba dulu. Kuambil sendok makan dan kurasakan sedikit. Hmm sedap juga.

Baru kali ini aku berhasil masak dengan resep yang agak rumit. Sekali lagi kucoba menyeruput satu sendok. Sedap. Tapi kenapa tiba-tiba perutku jadi agak mual? Ah paling gara-gara masih pagi dan belum makan apa-apa.

Aku angkat mangkok besar itu untuk kutaruh di meja makan. Tiba-tiba mual-mual di perut tadi kembali menyerang dengan sangat hebat dan kepalaku tiba-tiba pusing. Sekonyong-konyong tubuhku pun oleng dan tanpa sengaja mangkok besar sup panas tadi jatuh, pecah dan tumpah kemana-mana. Aku pun hampir ambruk sebelum akhirnya Idan lebih siap menyanggaku dari belakang. Ternyata dia lebih sigab demi mendengar suara pecahan mangkok porcelain yang sangat nyaring bunyinya.

“Astaga kamu kenapa Pit? Kalau lagi sakit jangan maksain diri buat masak segala! Biasanya kan aku yang nyiapin sarapan buat kita? Sori tadi aku ketiduran jadi gak sempet membuat sarapan. Tapi kita kan bisa beli di luar aja? ” Idan berkata sambil memapahku menuju kamar.

“Aku gak sakit kok tadinya” Ujarku lemah. Aku tidak bilang kalau aku hendak memberi kejutan buatnya. Malu kan jika mau memberi kejutan sekali saja langsung gagal.

Tiba-tiba mual tadi menyerang kembali. Kali ini sudah tidak bisa ditahan dan aku perlu ke kamar mandi. Aku langsung masuk kamar mandi dan kututup pintunya. Di dalam aku langsung muntah-muntah hebat. Rasanya seperti di pencet perutku. Dan setelah itu kepalaku langsung pusing-pusing.

Di luar Idan masih menungguiku di depan pintu.

“Kamu gak apa-apa kan Pit?” Tanyanya. Ada kekhawatiran dalam nada suaranya.

Aku keluar dan segera dipapah ke tempat tidurku. Aku masih diam.

“Mending hari ini kamu tidak usah masuk kerja. Aku juga akan cuti sehari ini. Akan kuantar kamu ke dokter.”

“Tidak usah Dan. Aku gapapa. Mungkin cuma masuk angin sedikit. Kamu berangat kerja aja.”

Semula Idan tetap bersikukuh akan mengantarku ke dokter. Namun setelah kuyakinkan kalau aku benar-benar tidak apa-apa akhirnya dia nurut juga. Dia berangkat ke kantor dengan enggan. Tanpa kuantar sampai ke depan, tanpa kurapikan dasinya, tanpa kucium tangannya dan tentu tanpa kebiasaannya mengecup keningku sebelum pergi.

Sebelum pergi dia masih sempat menelepon ibuku untuk mengabarkan atau lebih tepatnya mengadukan kalau aku sakit hari ini.

***

Idan memberikan telponnya padaku. Katanya ibu ingin bicara.

Pelan-pelan kuucapkan salam. Setelah menjawab salamku ibu langsung menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Kujawab seadanya sampai pada kesimpulan sepihak dari ibu.

“Jangan-jangan kamu hamil Pit!” dari seberang sana ibu begitu histeris.

“Masak sih?” tanngapanku enteng. Aku yakin ini hanya masuk angin biasa tapi kenapa ibu bisa menyimpulkan sampai sejauh itu?

“Udah pokoknya kamu periksa ke dokter sekarang biar kamu yakin. Minta Idan mengantarmu sekarang!”

“Tapi Idan sudah beragkat ke kantor.”

“Kamu minta temenmu atau siapa lah terserah buat ngantar kamu ke dokter. Ibu gak sabar ingin tahu”

Klik! Telpon ditutup. Aduh kesannya kok maksa sih? Tapi aku penasaran juga. Masak iya sih aku hamil? Apa tanda-tandanya Cuma seperti tadi?

Daripada penasaran aku pun berangkat ke dokter. Aku masih sempat telpon ke kantor tadi buat ijin tidak masuk kerja karena gak enak badan. Aku berangkat sendirian dengan taksi. Masih sedikit pusing tapi kalau Cuma jalan beberapa meter masih kuat lah.

Aku masih bertanya-tanya:apa benar aku hamil?

(Bersambung ke Part 6)
Read Comments

Simulasi Pernikahan


Cerbung
Setelah Kau Menikahiku
(Pernikahan Simulasi Part 4)
"Kita tidak bisa bertemu lagi Pram," ujarku
kepada Pram di telepon. Separuh jiwaku rasanya
terbang dan hilang saat kata-kata itu
kuucapkan.
"Kenapa? Idan melarangmu?"
"Dia tidak tahu apa-apa."
"Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan
dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan
hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai,
sedangkan denganku kau bisa mendapatkan
semuanya?"
Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.
"Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku
kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap
denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau
dengan Idan, hidup kita hanya mimpi, cacat,
timpang. Dan kita baru akan memulai hidup,
setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya
apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi
berdua, kita akan miliki segalanya...."
"Hentikan," potongku dengan suara bergetar.
"Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha
mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang
waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah
itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidup
ku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting
dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau
kembali denganku."
"Aku tidak bisa...."
"Kenapa tidak?"
Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah
permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap
hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya
berat sekali memutuskannya?
"Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda
dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau
tidak bisa mencinta inya. Satu-satunya
perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma
iba, karena ia tidak akan pernah bisa
mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya
menikah dengan perempuan yang mencintai
lelaki lain."
"Aku...."
"Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita
adalah takdir."
Kututup mikrofon dengan tanganku dan
menghela napas panjang. Seluruh tubuhku
rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti
berputar makincepat. Kupejamkan mataku.
"Aku tidak mencintaimu," gumamku.
"Lebih keras lagi."
"Aku tidak mencintaimu."
"Kau berbohong."
Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya
sanggup mengucapkan, "Ya."
"Ita," suara Pram gemetar. "Aku berjanji untuk
selalu membuatmu bahagia."
Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan
Idan akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi
hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan
bahwa aku harus bicara padanya tentang
perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak
berhak dan tidak mungkin menghentikanku.
Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan
keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa
membenahi hidupnya sendiri lagi.
Mustahil ia akan menolak berpisah denganku.
Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku
dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan
untuk kembali kepada Pram adalah yang terbaik
untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti
akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku
itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus
segan menyampaikannyapada Idan? Mula-mula
aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari
waktu yang tepat.
Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku
dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan
niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
"Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke
Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh masa
idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan
pendapat orang lain yang pasti berkomentar
kalau kau menikah denganku segera setelah
masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini
sepuluh bulan lagi."
"Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi...
Entahlah."
"Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu
bahagia?"
"Aku...." aku tergagap dan menggeleng.
"Jadi, bicaralah dengan Idan."
Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku
sudah bertekad untuk bicara dengan Idan malam
itu juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu
aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di
teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri
saat aku mendekati teras, hingga aku jadi
berpikir, ada apa sebenarnya.
"Kenapa kau sudah di rumah?" tanyaku.
Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir
dan menggandeng tanganku ke dalam rumah.
"Ada apa?"
"Sst!"
Ia membawaku ke serambi samping. Dengan
bangga dikembangkannyatangannya. Di sana
ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup
lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal
yang kelihatan sangat mengundang, berwarna
hijau dengan gambar... mawar putih?
"Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan
kita," katanya.
Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu.
Wajah Idan benar-benar sumringah. Di matanya
ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang
pasti telah berubah warna.
"Aku... aku tidak punya hadiah apa-apa,"
gumamku sambil kembali menatap ayunan itu,
menyembunyikan kalutku. "Aku lupa...."
Idan tertawa. "Kau bahkan tidak ingat ulang
tahunmu sendiri," katanya.
Ia duduk diayunan itu. "Ayo," katanya sambil
menarik tanganku.
Aku duduk disampingnya, tak tahu mesti
mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat
bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan
menikah, simulasi. Kenapa Idan harus
menganggap hari itu demikian istimewa
sementara aku sendiri sama sekali tak
mengingatnya?
Idan mulai berayun-ayun pelan sambil
menggenggam tanganku. Ia sedang
menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya,
tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di
kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan
segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih
dalam hati untuk mengutarakan segalanya,
tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan
hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.
"Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru,
anak nakal," teguran Idan membuyarkan
renunganku.
"Ada apa?"
Kutatap matanya. "Dan, Pram pulang."
Dahinya berkerut. "Pram?"
"Pacarku yang pergi ke Jerman."
"Oh," ia mengangguk. "Kapan?"
"Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun."
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan
apa-apa setelah itu. "Dia sudah menikah?"
tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.
"Lalu?"
"Dia ingin menikah denganku," ujarku cepat-
cepat, tanpa memandang wajahnya. "Ia hanya di
sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita
segera bercerai."
"Oh."
Idan tak mengatakan apapun selama beberapa
saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan
ringan, seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin ia
mencintaimu?"
Aku mengangguk.
"Kau yakin akan bahagia dengannya?"
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
"Kalau begitu, selamat," ketulusannya terdengar
hangat. "Aku ikut bahagia."
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan
aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di
sana. Rasa lega meruahi hatiku.
Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan
semuanya kujawab dengan antusiasme gadis
belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah
beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak
sungguh-sungguhmemperhatikan ceritaku.
"Dan?" tegurku.
"Ya?"
"Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau
pikirkan?"
"Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa
kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan
untuk bercerai denganku."
***
Malam itu aku terbangun saat Idan
mengguncang bahuku.
"Pit, bangun!"
"Ada apa?" gumamku.
Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan
pukul tiga lima belas dini hari.
"Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang.
Mama meninggal."
Aku terlonjak duduk. "Apa?"
"Ganti baju," perintah Idan sambil meninggalkan
kamarku.
Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari
mengejar. "Kapan."
"Baru saja."
"Di?"
"Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima
menit lagi."
"Idan...."
Ia membanting pintu kamar di depanku.
Aku kembali ke kamarku dan bergegas
mengganti piyamaku dengan baju yang pantas.
Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala
dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu
kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
"Dan, aku sudah siap."
Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi
dengan cahaya samar lampu taman aku bisa
melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya
tersembunyi dibalik kedua tangannya. Ia
menepis tanganku, bahkan mendorongku
terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi
ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku,
ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku
ia menangis.
Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol
emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi Idan
yang rasional dan berkepala dingin, yang
mengurus pemakaman, menerima para tamu dan
menghibur keempat kakak perempuannya
dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.
***
Sore harinya, saat aku tengah membantu
merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua
Idan, Kak Ira, menghampiriku.
"Pit, bawa Idan pulang."
"Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?"
Kak Ira menggeleng. "Coba lihat sendiri,"
katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.
Idan kutemukan di sana, sedang mengisap
sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun
berhenti merokok dan melihatnya kembali pada
kebiasaan itu membuatku sadar ia sedang
bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari
yang ditunjukkannya.
Ketika aku mendekat, kulihat asbak di
sampingnya telah penuh dengan puntung rokok
dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang.
Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan
kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia
bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira
memang benar. Aku harus segera membawa
Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang
ibunya.
"Aku mau pulang, Dan, " ujarku sambil
memegang tangannya. Ia menggeleng pelan.
"Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah
sendiri. Besok aku pulang naik bus saja."
"Aku tidak mau sendirian di rumah."
Idan menghela napas berat dan akhirnya
bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan
iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat
itu Kak Ira menggamit tanganku dan berbisik,
"Aku senang Idan sudah menikah denganmu.
Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat
seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan
meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal
dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun."
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak
Ira dengan hati menggigil. Bagaimana bisa
kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan
sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini
secepatnya?
***
Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke
kamarnya.
"Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?"
"Nanti saja. Aku tidak lapar."
"Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh.
Nanti kau sakit. Mau ya?"
Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi
semakin khawatir melihatnya.
"Tunggu di sini," ujarku lagi. "Aku tidak akan
lama."
Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari
es, aku mendengar suara Idan di kamar mandi. Ia
kutemukan membungkuk di wastafel, menangis
dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat
kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa
terpaku diambang pintu, tak pasti apa yang
harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari
keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin
meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.
Kuhampiri Idan dengan ragu.
Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku
agaknya sedikit menenangkannya,dan lambat
laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin
dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya.
Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di
dahinya. Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas,
dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam
pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai.
Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan
kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang
basah dan kuselimuti badannya yang menggigil.
"Maaf, Pit," bisiknya. "Aku tidak bisa menangis di
depan kakak-kakakku. Mereka...."
"Aku tahu. Tidak apa-apa," tanganku masih
gemetar saat aku mengelus rambutnya.
"Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya."
Ia mengangguk dan aku beranjak
meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia
kelihatan agak lebih baik.
Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya
tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan
kembali selimutnya, ia memegang tanganku.
"Terima kasih."
"Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku."
"Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku
pernapasan buatan," ia tersenyum nakal.
"Oh, kau!" aku ikut tersenyum, lega.
"Dan untuk menikah denganku," lanjut Idan
kemudian, ekspresinya begitu serius.
"Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama
bisa tenang karena mengira aku sudah beristri. "
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata
saat aku bicara, "Aku yang mesti berterima kasih
kepadamu."
"Untuk apa?"
"Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk
kesabaranmu. Pengorbananmu."
Idan tersenyum kecil. "Aku tidak melakukan
apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang
sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku
yang berterima kasih."
"Jangan memaksa," aku mencoba bercanda.
"Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah
sedikit."
Idan tersenyum dan mencubit hidungku.
Tangannya tidak sedingin tadi dan itu
melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
"Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya
mau terlibat dengan ide gilaku ini," katanya.
"Entahlah, Dan," aku tertawa kecil. "Mungkin aku
sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku
merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat
usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu
untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus,
keenggananku untuk menikah, karena tidak ada
calon yang pas; dan keinginan ibuku yang
menggebu-gebu untuk segera melihatku
menikah."
"Apa yang kau dapat setelah setahun kita
menikah?" tanyanya dengan mimik lebih serius.
Aku terdiam sejenak. "Banyak," jawabku akhir
nya. "Aku belajar bahwa aku tidak menikah
dengan malaikat atau monster, tapi dengan
manusia, yang punya kekurangan yang harus
kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa
kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan,
bila kita tidak mendapatkan apa yang kita
inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh
jadi suatu kemenangan bersama."
Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan
membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun
memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk
menyatakan semua itu.
"Kau memang selalu pintar bicara," Idan
tersenyum.
"Kau sendiri? Apa ya ng kau pelajari selama ini?"
"Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan
pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi."
Aku tertegun. "Apa maksudmu?"
Idan bangkit dan duduk mencangkung
menatapku. "Tahun ini adalah saat paling
bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi
dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku
adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan
setiap malam waktu aku pulang dan kau
tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi
manusia paling beruntung di seluruh jagad raya.
Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu
bahkan mulai berharap kau akan bersamaku
terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol.
Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku
mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat."
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak
kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat
tenang dan serius.
"Aku masih belum mengerti," bisikku.
"Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah
simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan
sesungguhnya untukku."
"Apa maksudmu kau mencintaiku ?" suaraku
tercekik.
"Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,"
kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku
seperti sebuah pukulan keras yang membuatku
terempas.
"Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena
nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang
lalu, waktu kita masih sama-sama belasan
tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti
mencintaimu hingga kini."
"Kau... kau tidak pernah...."
"Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau
selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau
patah hati karena orang lain, dan kau selalu
datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku
tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak
menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau
bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak
mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan
calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku
bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk
kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-
biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan,
memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi
selama ini aku benar-benar tidak punya
keberanian, belum lagi kesempatan, untuk
berterus terang kepadamu."
"Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan," ujarku
lirih. "Kau istimewa dengan caramu sendiri."
Ia mengangkat bahu. "Tidak cukup untuk kau
cintai."
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua
mata Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini
hanya salah satu dari sekian banyak
permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-
sungguh.
"Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu
kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau
inginkan?" tanyaku datar.
Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam
senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan
sebelumnya. "Aku sendiri tidak tahu kenapa aku
mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku
hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan
karena aku masih berharap kau akan
mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya
lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap
memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan
jika akhirnya kau benci kepadaku atau
melupakanku sekalipun."
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing
berpijar di matanya saat ia kembali menatapku.
"Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku
ingin kau disini bersamaku, seumur hidupku. Aku
ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar
mencintaiku, mungkin tidak akan pernah
sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi
setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya
sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku
ingin mencintaimu lebih dari yang pernah
kutunjukkan."
Ia menghela napas berat. "Tapi itu semua
keinginanku. Bukan kemauanmu.
Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu
juga."
Lama kami berdua saling berpandangan.
"Terima kasih, Dan," desahku akhirnya. Kupeluk
ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di
bahunya.
***
"Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku
terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan
baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak
pantas bicara soal perceraian saat ini."
"Berapa lama?"
"Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin."
"Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku
tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman.
Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke
sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua
tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu
yang mestinya bisa kita lewati berdua."
"Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin
meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan
aku."
"Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan
pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita
bisa seterusnya bersama?"
Aku menghela napas panjang. "Entahlah, Pram, "
bisikku.
"Apa maksudmu?" suara Pram terdengar kaget.
"Aku.... Aku tidak akan bahagia kalau Idan
menderita."
"Ita! Kau tidak.... Dengar, pikir baik-baik.
Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup
dengannya, ia akan bahagia?"
"Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya."
"Tapi kau tidak bahagia!"
"Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat
aku bersamamu. Tapi Idan membuatku
bahagia."
"Kau tidak bisa''
Bersambung —
Read Comments

Simulasi Pernikahan


Setelah Kau Menikahiku 3
(Pernikahan Simulasi Part 3)

Pernikahan Simulasi [Bagian 3]

Wajah Idan benar-benar merah sekarang. "Upit! Jangan main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam lagi."

"Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi."

"Oke. Terser
ah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar...."

"Idan!" jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya.

Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar diri ke ranjang, sesenggukan. Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku tertidur kelelahan.

Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali meninggalkannyadan kembali ke rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor.

Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku dari pintu kamar yang terkuak.

"Apa-apaan ini, Pit? " tanyanya.

"Aku pulang ke rumah Ibu."

Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. "Semudah ini kau menyerah?"

"Ini diluar dugaanku."

"Apa?"

"Aku tidak mengira aku menikahi monster."

Idan terdiam, menunduk.

"Aku...," katanya lirih. "Aku bawa pizza kesukaanmu."

"Aku sudah terlalu gemuk."

Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah, "Tidak. Kau cantik."

"Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa."

"Aku sudah mencoba jadi suami yang baik."

"Kau gagal."

"Setidaknya aku mencoba. Kau... kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita berhasil...."

"Simulasi."

Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. "Simulasi."

"Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu."

Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari kamarku, aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.

"Setidaknya tunggulah sampai hujan reda," suara Idan menyambutku.

"Terlalu lama," gumamku. "Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu."

Aku tak peduli hujan yang serta merta meng guyurku basah kuyup Saat aku membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada di benakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan.

Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.

"Ayo pulang," katanya.

Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.

Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan diri.

Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.

"Ganti bajumu," katanya.

"Semua bajuku di dalam kopor."

"Ambil bajuku."

"Tidak akan pernah!"

Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata berkobar, "Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!"

"Monster," desisku.

Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku.

Setelah itu semuanya kabur. Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.

Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.

"Ibu."

Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku. "Bagaimana? Sudah enakan?"

"Idan mana?" bisikku.

Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya dimana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.

"Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang."

Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.

"Ibu sudah berapa lama di sini?"

"Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?"

Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.

Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya.

"Bagaimana, Bu?" tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.

"Tadi bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu."

Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.

"Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok."

Ibu tertawa kecil. "Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan kau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak capai?"

"Saya pakai baterai Energizer, Bu."

Ibu tertawa lagi, "Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia."

Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!

"Sudah tanggung jawab saya, Bu."

Alangkah klisenya!

Sunyi. "Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?"

"Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi."

"Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau."

"Ya, Bu."

"Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan."

"Baik, Bu."

Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.

Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena ia ymelukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi.

Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya. Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontak saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat.

Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah berapa belas kali. Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum, merebuskan mi instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang kelantai, mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang hanya kucuil sedikit. Pijatannya dikakiku terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannyauntuk menyalakan televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai mengangguk terlelap.

Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya ? yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya ? yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan.

Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.

Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?

Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untukmenyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?

Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup.

Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu cokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis karena terharu.

"Kau tidak ke kantor? " tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kata ramah pertama yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.

"Ini hari Minggu, Pit."

"Aku sudah sakit selama seminggu ?" bisikku tak percaya.

"Ya," Idan tersenyum. "Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu."

"Ibuku kan di sini."

"Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf."

Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi. "Tidak main bola?"

Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas. "Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku cadangan."

Aku tersenyum.

"Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu," ia mengangkat bahu dan tersenyum.

"Kau mau pergi memancing nanti sore?"

Ia menggeleng lagi.

"Kenapa?"

"Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah."

"Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya."

"Terima kasih untuk apa?"

Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, "Karena meminjamkanmu untukku hari ini."

Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku. "Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?"

Aku mengangguk dengan leher tersumbat.

"Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi," katanya kemudian.

"Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit Nanti air jerukmu asin."

--------

"Selamat ulang tahun, Pit."

Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. "Idan! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!"

"Memberimu selamat ulang tahun," jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri.

"Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!"

Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku. Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.

Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan untukku. Puisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.

"Kau lihat?" Idan memotong renunganku.

"Apa?"

"Hadiahku."

Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.

"Kau tidak menemukannya?" tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam suaranya.

Aku menggeleng.

"Aku menambah memori komputermu," akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.

"Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat."

Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya.Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa.

"Oh," hanya itu yang bisa kukatakan. "Terima kasih."

"Kau boleh memelukku kalau mau," katanya tersenyum dan membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin.

Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.

Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.

Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa. Mungkinkah?

Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.

(Bersambung kepart 4
Read Comments